SEJARAH


Pada tahun 1984, Toto Soeparto pulang ke Kota Semarang dari perantauan panjangnya, beliau sudah berpetualang ke berbagai tempat di Indonesia sejak tahun 1960-an, berbagai bahaya dan rintangan telah banyak beliau lewati, termasuk kejahatan dari para bromocorah dan tekanan dari penguasa pada zaman itu, bermacam - macam karakter pendekar dari berbagai aliran bela diri juga pernah beliau hadapi. Selama bertahun – tahun Toto Soeparto mengembara di berbagai tempat termasuk Kota Jakarta, Ibu kota Indonesia. Di Semarang, Toto Soeparto menyempatkan diri untuk singgah di kampung halamannya di Kauman, yang kemudian menetap di Banyumanik. Ketika Toto Soeparto singgah di Kauman, beliau bertemu dengan kawan – kawan lamanya, diantaranya adalah Nur Cholis, seorang pemuda yang kelak mewarisi ilmu dari Toto Soeparto sekaligus mengembangkan dan menyebarkannya. Pada saat itu, pemuda Nur Cholis adalah murid dari salah satu perguruan beladiri yang cukup tersohor di Kota Semarang. Setelah bertemu dengan Toto Soeparto, Nur Cholis disarankan untuk menambah bekal ilmu bela dirinya agar menjadi lebih matang dengan berguru kepada Toto Soeparto. Dengan perantara Ismail, paman dari Nur Cholis, mulailah pemuda ini belajar ilmu beladiri silat dan kungfu kepada Toto Soeparto.
Ilmu yang diajarkan Toto Soeparto kepada Nur Cholis hanya bersifat melengkapi yang berkisar pada teknik dan sedikit ilmu pernafasan. Beberapa hari kemudian, Nur Cholis mengajak sahabatnya, yaitu Muhammad Jamil untuk ikut menimba ilmu beladiri kepada Toto Soeparto. Pada tahun 1986, setelah merasakan manfaat dari ilmu yang diajarkan oleh Toto Soeparto, pemuda Nur Cholis dan Muhammad Jamil menyatakan diri sebagai murid dari Toto Soparto, sejak saat itulah mereka resmi memanggilnya sebagai guru. Tahun 1988, Toto Soeparto kembali menerima seorang murid yang bernama Jirjis Al Hakim, yang merupakan saudara seperguruan dari kedua murid sebelumnya. Tahun demi tahun, Toto Soeparto dengan sabar menurunkan ilmu silat kepada ketiga muridnya. Pada tahun 1989, ketiga murid tersebut sudah diperbolehkan untuk turun gunung . Pada tahun 1990 ketiga murid tersebut mulai mengembangkan dan mengajarkan ilmunya ke masyarakat.
Dalam menurunkan ilmu kepada para muridnya, Toto Soeparto tidak menekankan pada penggunakan senjata apapun, ilmu beladiri ini bersifat perkelahian dengan tangan kosong. Dengan berbagai pertimbangan, maka dibentuklah sebuah perguruan beladiri yang memadukan antara bela diri Indonesia, yaitu silat dengan bela diri Cina, yaitu kungfu yang diberi nama PERGURUAN BELADIRI GAJAH PUTIH (PBGP). Perguruan ini menggunakan nama gajah, dikarenakan ketika mengembara, Toto Soeparto pernah memperhatikan seekor gajah yang mempunyai perilaku lembut, mantap, penyabar serta mempunyai kekuatan yang besar. Sedangkan warna putih mempunyai arti kesucian. Maka jadilah GAJAH PUTIH yang memiliki makna dan harapan kepada murid – muridnya yang harus meliliki sifat lembut, mantap, penyabar, mempunyai kekuatan yang besar dan memiliki kebersihan serta kesucian pada hatinya. Oleh sebab itu, jurus – jurus yang dimiliki oleh PBGP terkandung falsafah yang merupaka inti dari ilmu – ilmu tersebut. Falsafah tersebut antara lain :
  1. Khasma : yang berarti aman, yang mengandung makna tentram dalam segala hal
  2. Tirta : yang berarti air, yang mengandung makna rata dan sumber kehidupan
  3. Jaladri : yang berarti laut, yang mengandung makna luas tanpa batas
  4. Samirana: yang berarti angin, yang mengandung makna memberi kenyamanan dan dapat pergi kemana saja
  1. Chandra : yang berarti rembulan, yang mengandung makna penerang dalam gelap
  2. Surya : yang artinya matahari, yang mengandung makna daya dan sumber energi dalam kehidupan
  1. Dahana : yang artinya api, yang mengandung makna keadilan, kebenaran dan budi luhur
  1. Kartika : yang artinya bintang, yang mengandung makna teguh dalam jiwa dan raga
  2. Wono : yang artinya hutan, yang mengandung makna memberi perlindungan
Falsafah yang terkandung dalam jurus – jurus PBGP yang terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) jurus dasar ditambah 9 (Sembilan) jurus pecahan yang merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Hanya dengan mendalami dan menghayati makna dari 9 (Sembilan) falsafah tersebut, seorang murid dapat mengartikan inti dan hakekat dari ilmu PBGP. Dengan berpegang pada falsafah tersebut, atas ridho Allah SWT, PBGP mulai dikembangkan oleh ketiga muridnya. Hanya dengan belajar dengan tekun, ulet, disertai kemauan yang keras dan tanggung jawab, maka apa yang ada didepan mata bukanlah halangan.

Comments